Puisi Alam

Diposting oleh aji on 09.05

Hujan Pergi Sendiri

Hujanku sudah berkalang tanah ditebas lalang malam petangberdarah lehernya agak kekiri terguling kengarai melantak tunggu,menyeringai ia bersakitanmerasa benar sebelum lalu.Ibaku menengok dari kejauhanRintik terisak menengadah mengjangkau-jangkau, ingin turutpun teguh kutegah, hilang sudah kawan sepermainan.Tak niat menega hilang keduanya, hujan dengan rintikmembujukku pada rintik, biar hujan pergi sendiri tinggallah rintik dengankuacuh meraung saja pesenyum rintikKuturut lalang hendak bertanya,bercakap sejenaklah sudahlalang mengapa engkau menebas hujan?berjawab tidak dari lalang, menekur iaHujan kan sudah begitu semenjak dulu, menitik air, benar melebatkah ia?atau kau diasung pawang-pawang?picik kau lalang!kemudian, rintik menyanyi sambil mencangkungumpama beruk tidak terjualHujan …
Alunan Senja
Di ufuk barat
Cahaya rinduku meredup sendu
Bias mega seakan memenggal kenangan
Tentang sekeping hati
yang melekat di lamunan
Sungguh
Alunan senja nan teduh
Meredam asmara yang kian rapuh
Nada-nada tak berirama
Mengusik jiwa dalam peraduannya
Kisah Air
Kami bisa memberitahumu
Banyak airmata yang tertumpah
Dari bukit ke lembah
Kami bisa berkisah
Banyak perasaan terhanyut
Dari hulu ke hilir
Kami bisa membisik
Rahasia rahasia
Dari sungai ke laut
Elegi Rerumputan
Semesta rumput memerankan
ketaatannya
kepala mereka tunduk
oleh bebayangan mentari saga
hidup bersama bertumpuk
dalam dimensi ketenangan
ini nyayian sang raja hijau
angin petang menjadikan
elegi doa rerumputan
luapan kata setiap titah tumbuhnya
mereka tampakkan ketun
Menatap Petang
Matahari kian renta
mencurahkan aura jingga
ribuan burung berarakan
menuju hutan samaran
aku duduk di beranda
dengan mata tertumbuk
bermain empat mata
sinar jingga kunci raga
mata kian kisut
hari kian lesu
musim kan berganti
Kaki Pelangi
Ia yang hadir selepas hujan
Hapuskan air mata
Membentang jauh tak terhingga
Lihat masa depan nun jauh di sana
Aku telah menyusuri
Ke tujuh jalan pelangi
Namun masih juga mencari
Hingga akhirnya kusadari
Telah kutemui
Bukan emas maupun harta
Sisihkan kabut yang menghalangi
Karena tiada hujan yang abadi
Lingkaran Empat Musim
Bunga bunga bermekaran
dalam angin musim semi
Kita memulai hari hari
Lihat kuatnya bunga kecil yang rapuh
Ia lalui musim dingin dalam harapan
Dengan indahnya ia merekah
Tidakkah kau tahu kekuatan tekad?
Musim panas saat kita berbagi cerita
Semilir angin di pucuk pucuk cemara
Menaungi aku, kau, kita semua
Daun daun coklat musim gugur
Aku tahu waktuku belum tiba
Semangat juang yang tak jua kendur
Lautku

Satu senja
Dipangguk sunyi
Rambutku ditiup
Nyanyian merdu pantai
Kulihat camar-camar
Bermain ria di lautku
Menggebur sukma
Yang menunggu gelap
Tapi lautku hanya terdiam
Tengelamkanku dalam
Cinta yang tiada surut
——————————————-
Puisi tentang Alam
Karya: Wahyu Akbar,
kelas XII IPA-2 MAN Selatpanjang,
anggota Cahaya Pena
Tabir Senja di Dusun Kecil
Kidung bulan di kaki langit
Mengalun tembang mentari
merah saga
Menarik selimut langit kelam
sang kegelapan
Siang meronta, dibalik bayangan
megah kerdip bintang
di atas tanah bulan sabit
desa batang hari
Dusun secuil gambut
senja merona kian menghujam
Gerhana
gerhana kali ini
datang menutup segenap rimba
yang gugur daun
selepas kemarau lalu
di musim basah nanti
dahan akan kembali
ditumbuhi pucuk-pucuk baru
menjelma rupa
dahan hatiku kering
tak lagi ditumbuhi pucuk baru
setelah kemarau
Andai Ozon Dapat Bicara
Andai ozon bisa bicara
Dia akan berkata
Oh…betapa kejamnya manusia
Andai ozon bisa bicara
Dia akan berkata
Hidupku sudah tak lama
Andai ozon bisa bicara
Dia akan berkata
Aku kini sakit digerogoti
berbagai penyakit
Andai ozon bisa bicara
Dia akan mengabarkan kepada kita
Wahai para manusia kini aku telah tertembus….
Mengikuti Tanda
Jika kau ingin menemukanku
Lihatlah bulan
Aku akan menjadi cahaya
Jika kau belum jua berjumpa
Duduklah bersama burung di sangkar
Yang tak berpintu
Jika aku tetap tidak ada di sana
Hilangkan dulu kecemburuanmu
Pada malam yang memanggil
Tapi jangan sentuh pekatnya
Karena itulah aku
Jika belum jua kau bersua denganku
Carilah aku di antara hempasan ombak
Yang mencium bibir pantai
Aku akan menjadi buih putih
Tersenyum untukmu
Jika kau malas ke sana mencariku
Bersualah dengan angin
Sebab aku bergulung dalam hembusannya
Jika tak jua aku kautemukan di sana
Cobalah bermimpi di tidurmu
Aku akan menjadi pendongeng
Di antara lelapmu
Namun jika malam tak menyenggol kantukmu
Bukalah pintu
Aku akan turun bersama embun
Melembabkan dedaunan
Aku akan ada …
Setangkai Kata, Sebait Bunga
Suara yang memanggilku
Di sayap-sayap cahaya terdengar bisu
Pandangan itu, melalakkan angin
Untuk mengeja lirik-lirik sua
Saat kita di taman rindu
Kutadahkan setangkai kata sebait bunga
Sekarang diri merisaukan dedaunan
Terus berembunkan air mata
Rentannya luka dari duri
Juga lapuknya tangkai menopang bunga.
Karya: Andri Eka Saputra, Mahasiswa Jurusan Ilmu Ekonomi
Puisi Alam : Gunung, Rumah yang Terbakar
Di alam semesta
Hanya gunung yang tinggi
Ada gunung jahat, gunung api
Di gunung, banyak barisan cemara
Juga lahar yang membakar
Ada air, penduduk desa yang banyak memperolehnya
Tapi, lahar bisa membakar apa saja
Rumah-rumah yang terbakar oleh lahar
Aku kasihan
Banyak bencana menimpa kita
Tak Rindukah pada Langit
Sayapnya patah mengibas keangkuhan
Kepakannya kandas di daun-daun hijau
Kicaunya memekak anak semut yang kesiangan
Tuhan…izinkan aku terbang
Rintihnya …
Separuh pagi menjejalkan kekenyangan diperutnya
Dan ia lupa siang membayang dalam terik yang tak sudah
Belum pun petang menjemput
Ia akan mati dalam dahaga musyafir yang ngeri
Tuhan…izinkan aku bertemu malam
Pujuknya…

0 komentar:

Posting Komentar

Text