Perbedaan sel tumbuhan, sel hewan, dan sel bakteri

Diposting oleh aji on 05.23 komentar (2)

Secara umum setiap sel memiliki
• membran sel,
• sitoplasma, dan
• inti sel atau nukleus.
Sel tumbuhan dan sel bakteri memiliki lapisan di luar membran yang dikenal sebagai dinding sel. Dinding sel bersifat tidak elastis dan membatasi perubahan ukuran sel. Keberadaan dinding sel juga menyebabkan terbentuknya ruang antarsel, yang pada tumbuhan menjadi bagian penting dari transportasi hara dan mineral di dalam tubuh tumbuhan.
Sitoplasma dan inti sel bersama-sama disebut sebagai protoplasma. Sitoplasma berwujud cairan kental (sitosol) yang di dalamnya terdapat berbagai organel yang memiliki fungsi yang terorganisasi untuk mendukung kehidupan sel. Organel memiliki struktur terpisah dari sitosol dan merupakan "kompartementasi" di dalam sel, sehingga memungkinkan terjadinya reaksi yang tidak mungkin berlangsung di sitosol. Sitoplasma juga didukung oleh jaringan kerangka yang mendukung bentuk sitoplasma sehingga tidak mudah berubah bentuk.
Organel-organel yang ditemukan pada sitoplasma adalah
• mitokondria (kondriosom)
• badan Golgi (diktiosom)
• retikulum endoplasma
• plastida (khusus tumbuhan, mencakup leukoplas, kloroplas, dan kromoplas)
• vakuola (khusus tumbuhan)
Perbedaan sel tumbuhan, sel hewan, dan sel bakteri
Sel tumbuhan, sel hewan, dan sel bakteri mempunyai beberapa perbedaan seperti berikut:
Sel tumbuhan Sel hewan Sel bakteri
Sel tumbuhan lebih besar daripada sel hewan. Sel hewan lebih kecil daripada sel tumbuhan. Sel bakteri sangat kecil.
Mempunyai bentuk yang tetap. Tidak mempunyai bentuk yang tetap. Mempunyai bentuk yang tetap.
Mempunyai dinding sel [cell wall] dari selulosa.
Tidak mempunyai dinding sel [cell wall].
Mempunyai dinding sel [cell wall] dari lipoprotein.
Mempunyai plastida.
Tidak mempunyai plastida.
Tidak mempunyai plastida.

Mempunyai vakuola [vacuole] atau rongga sel yang besar. Tidak mempunyai vakuola [vacuole], walaupun terkadang sel beberapa hewan uniseluler memiliki vakuola (tapi tidak sebesar yang dimiliki tumbuhan). Yang biasa dimiliki hewan adalah vesikel atau [vesicle]. Tidak mempunyai vakuola.

Menyimpan tenaga dalam bentuk butiran (granul) pati.
Menyimpan tenaga dalam bentuk butiran (granul) glikogen.
-
Tidak Mempunyai sentrosom [centrosome]. Mempunyai sentrosom [centrosome].
Tidak Mempunyai sentrosom [centrosome].
Tidak memiliki lisosom [lysosome].
Memiliki lisosom [lysosome].

Nukleus lebih kecil daripada vakuola. Nukleus lebih besar daripada vesikel. Tidak memiliki nukleus dalam arti sebenarnya.
[sunting] Perbedaan pertumbuhan dan perkembangan sel hewan dan tanaman
Secara umum, perbedaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:









Secara umum, perbedaan tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut:
Hewan Tumbuhan
Terdapat sentriol Tidak ada sentriol
Tidak ada pembentukan dinding sel Terdapat sitokinesis dan pembentukan dinding sel
Ada kutub animal dan vegetal Tidak ada perbedaan kutub embriogenik, yang ada semacam epigeal dan hipogeal
Jaringan sel hewan bergerak menjadi bentuk yang berbeda Jaringan sel tumbuhan tumbuh menjadi bentuk yang berbeda
Terdapat proses gastrulasi Terdapat proses histodiferensiasi
Tidak terdapat jaringan embrionik seumur hidup Meristem sebagai jaringan embrionik seumur hidup
Terdapat batasan pertumbuhan (ukuran tubuh) Tidak ada batasan pertumbuhan, kecuali kemampuan akar dalam hal menopang berat tubuh bagian atas
Apoptosis untuk perkembangan jaringan, melibatkan mitokondria dan caspase Tidak ada "Apoptosis", yang ada lebih ke arah proteksi diri, tidak melibatkan mitokondria

[sunting] Pertumbuhan dan perkembangan sel
Pertumbuhan dan perkembangan umumnya terjadi pada organisme multiseluler yang hidup.
Siklus sel
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Siklus sel
Siklus sel adalah proses duplikasi secara akurat untuk menghasilkan jumlah DNA kromosom yang cukup banyak dan mendukung segregasi untuk menghasilkan dua sel anakan yang identik secara genetik. Proses ini berlangsung terus-menerus dan berulang (siklik)
Pertumbuhan dan perkembangan sel tidak lepas dari siklus kehidupan yang dialami sel untuk tetap bertahan hidup. Siklus ini mengatur pertumbuhan sel dengan meregulasi waktu pembelahan dan mengatur perkembangan sel dengan mengatur jumlah ekspresi atau translasi gen pada masing-masing sel yang menentukan diferensiasinya.
[sunting] Fase pada siklus sel
1. Fase S (sintesis): Tahap terjadinya replikasi DNA
2. Fase M (mitosis): Tahap terjadinya pembelahan sel (baik pembelahan biner atau pembentukan tunas)
3. Fase G (gap): Tahap pertumbuhan bagi sel.
1. Fase G0, sel yang baru saja mengalami pembelahan berada dalam keadaan diam atau sel tidak melakukan pertumbuhan maupun perkembangan. Kondisi ini sangat bergantung pada sinyal atau rangsangan baik dari luar atau dalam sel. Umum terjadi dan beberapa tidak melanjutkan pertumbuhan (dorman) dan mati.
2. Fase G1, sel eukariot mendapatkan sinyal untuk tumbuh, antara sitokinesis dan sintesis.
3. Fase G2, pertumbuhan sel eukariot antara sintesis dan mitosis.
Fase tersebut berlangsung dengan urutan S > G2 > M > G0 > G1 > kembali ke S. Dalam konteks Mitosis, fase G dan S disebut sebagai Interfase.
[sunting] Regenerasi dan diferensiasi sel
Regenerasi sel adalah proses pertumbuhan dan perkembangan sel yang bertujuan untuk mengisi ruang tertentu pada jaringan atau memperbaiki bagian yang rusak.
Diferensiasi sel adalah proses pematangan suatu sel menjadi sel yang spesifik dan fungsional, terletak pada posisi tertentu di dalam jaringan, dan mendukung fisiologis hewan. Misalnya, sebuah stem cell mampu berdiferensiasi menjadi sel kulit.
Saat sebuah sel tunggal, yaitu sel yang telah dibuahi, mengalami pembelahan berulang kali dan menghasilkan pola akhir dengan keakuratan dan kompleksitas yang spektakuler, sel itu telah mengalami regenerasi dan diferensiasi.
[sunting] Empat proses esensial pengkonstruksian embrio
Regenerasi dan diferensiasi sel hewan ditentukan oleh genom. Genom yang identik terdapat pada setiap sel, namun mengekspresikan set gen yang berbeda, bergantung pada jumlah gen yang diekspresikan. Misalnya, pada sel retina mata, tentu gen penyandi karakteristik penangkap cahaya terdapat dalam jumlah yang jauh lebih banyak daripada ekspresi gen indera lainnya.
Pengekspresian gen itu sendiri mempengaruhi jumlah sel, jenis sel, interaksi sel, bahkan lokasi sel. Oleh karena itu, sel hewan memiliki 4 proses esensial pengkonstruksian embrio yang diatur oleh ekspresi gen, sebagai berikut:
Proliferasi sel
menghasilkan banyak sel dari satu sel
Spesialisasi sel
menciptakan sel dengan karakteristik berbeda pada posisi yang berbeda
Interaksi sel
mengkoordinasi perilaku sebuah sel dengan sel tetangganya
Pergerakan sel
menyusun sel untuk membentuk struktur jaringan dan organ
Pada embrio yang berkembang, keempat proses ini berlangsung bersamaan. Tidak ada badan pengatur khusus untuk proses ini. Setiap sel dari jutaan sel embrio harus membuat keputusannya masing-masing, menurut jumlah kopi instruksi genetik dan kondisi khusus masing-masing sel.
Sel tubuh, seperti otot, saraf, dsb. tetap mempertahankan karakteristik karena masih mengingat sinyal yang diberikan oleh nenek moyangnya saat awal perkembangan embrio.
Sel-sel khusus
• Sel Tidak Berinti, contohnya trombosit dan eritrosit (Sel darah merah). Di dalam sel darah merah, terdapat hemoglobin sebagai pengganti nukleus (inti sel).
• Sel Berinti Banyak, contohnya Paramecium sp dan sel otot
• Sel hewan berklorofil, contohnya euglena sp. Euglena sp adalah hewan uniseluler berklorofil.
• Sel pendukung, contohnya adalah sel xilem. Sel xilem akan mati dan meninggalkan dinding sel sebagai "tulang" dan saluran air. Kedua ini sangatlah membantu dalam proses transpirasi pada tumbuhan.

ELEGI ESOK PAGI

Diposting oleh aji on 07.47 komentar (0)

Ketika hati bersenandung
dalam elegi pagi ini
aku hanya seorang diri
bercerita pada pena dan kertas usam
bercerita tentang jeritan hati
kerinduan pada seorang kekasih
kerinduan akan kejujuran hati
kerinduan akan nyanyian sunyi
kerinduan akan kedamaian hidup ini
kerinduan pada Rhido ILLAHI

Perjalanan Ke Langit

Diposting oleh aji on 07.44 komentar (0)

Perjalanan Ke Langit
Bagi yang merindukan
Tuhan menyediakan
Kereta cahaya ke langit
Kata sudah membujuk
Bumi untuk menanti
Sudah disiapkan
Awan putih di bukit
Berikan tanda
Angin membawamu pergi
Dari pusat samudera
Tidak cepat atau lambat
Karena menit dan jam
Menggeletak di meja
Tangan gaib mengubah jarum-jarumnya
Berputar kembali ke-0
Waktu bagi salju
Membeku di rumputan
Selagi kaulakukan perjalanan.

Hawa yang Istimewa

Diposting oleh aji on 07.44 komentar (0)

Duhai kaum Hawa…
Sungguh mulia tempatmu
Terlalu istimewa sifatmu
Tak ternilai kudratmu
Meski masih bisa tertawa
Di kala saat-saat duka
Gahnya air mata itu
Di sebalik keindahan alis matamu
Itulah kelemahanmu
Namun percayalah
Titis kaca itu adalah tulang kekuatanmu jua
Yang bisa runtuhkan ego Adam
Yang bisa runtunkan jiwa Adam
Senyumlah wahai Hawa
Ukirlah seikhlas wajahmu
Sucikanlah ruang hatimu
Kerna ku jua tau
Tulus budimu
Semulus kasihmu
Yang bisa menggoncang dunia
Yang bisa membuka mata semesta
Terima kasih Tuhanku
Aku lahir ke dunia sementara ini
Dalam dunia Hawaku…
Duhai kaum Adam…
Hargailah kasih sayang Hawa
Yang tiada galang ganti
Yang dicurahkan bersama doa
Tanpa Hawa
Dunia ini akan hilang hiasnya
Akan pergi serinya
Tinggallah Adam di sini
Menghitung kesalan di benak hati
Membiarkan Hawa melangkah sepi…
Jangan biarkan Adam dan Hawa terpisah akhirnya…

Danau Kematian

Diposting oleh aji on 06.30 komentar (0)

“Apakah ia akan bernasib sama seperti aku dulu? Tersihir oleh peri-peri kecil yang ada di permukaan danau dan terhanyut pula oleh tangan-tangan ganggang hijau yang gemulai ini?”(Cerpen “Danau Kematian”)

Peri-peri, yang digambarkan sebesar bunga pohon putri malu dan berterbangan lincah dengan sayap yang keemasan, adalah yang dikatakan sebagai penyebab kematian Rina, tokoh utama cerpen “Danau Kematian”. Peri ini juga yang kemudian membuat tokoh Irin, tergoda dan akhirnya tercebur ke danau.

“Danau Kematian” bercerita tentang Rina, kekasih Diar, yang tewas tepat pada hari ulangtahun Diar. Rina menghilang, dan kemudian diketahui ternyata telah tercebur di danau karena tertegun melihat bayangan peri di permukaan danau pada pagi hari. Ia tenggelam dan mayatnya tak ditemukan hingga lebih dari dua bulan. Cerpen ini bertutur lewat point of view (POV) Rina.

Sedari awal, penulis ingin menyuguhkan cerita yang sedih sekaligus indah. Di kalimat pembuka, tokoh Rina memanggil-manggil nama kekasihnya. Meski begitu, Diar, sang kekasih, tak juga kunjung datang. Lalu diikuti kesedihan berikutnya; berita hilangnya Rina. Selanjutnya, ditemukan mayat Rina di dalam danau. Di sela-sela itu, dikisahkan kematian neneknya Diar yang juga tenggelam di danau bertahun-tahun lalu. Juga Irin, adik Diar, yang tercebur di danau yang sama dan untungnya bisa diselamatkan.

Cerpen ini sedikit banyak mengingatkan saya akan novel Raumanen karya Marianne Katoppo, terutama karena dua karya tersebut sama-sama dituturkan lewat POV tokoh yang sudah mati dan kisah cinta yang melatari. Selain itu, kedua karya juga ada usaha untuk sengaja menyembunyikan kondisi tokoh utama yang sebenarnya. Sepertinya ingin memberi kejutan kepada pembaca bahwa POV dituturkan oleh orang yang telah mati. Mengenai hal ini, Raumanen jauh lebih berhasil, namun “Danau Kematian” sebaliknya. Ketika tiba pada paragraf empat cerpen “Danau Kematian”, pembaca sudah bisa menebak tokoh utama telah meninggal dunia. Lebih dari itu, sejujurnya, pembaca juga sudah bisa menebak kira-kira nasib naas macam apa yang telah menimpa tokoh utama. Semua petunjuk di paragraf-paragraf awal sudah dibuka oleh penulis. Meski pada tiga paragraf awal penulis berhasil membangun keindahan, namun pada saat yang sama penulis juga menghancurkan klimaksnya sendiri yang seharunya berada di sepertiga akhir paragraf.

Hal yang membuat saya meraba-raba cerpen ini adalah; ketidakyakinan saya, cerpen ini sebetulnya oleh penulis ingin diarahkan ke mana; kisah cinta, misteri, atau fantasi. Kisah cinta Diar dan Rina jelas menjadi latar dari cerpen ini. Rasa kehilangan kedua tokoh yang amat sangat, menegaskan bahwa kisah cinta di sini berperan penting. Namun begitu pula misteri, sebab hilangnya Rina yang tiba-tiba, juga judul yang sengaja dipilih; “Danau Kematian”. Awalnya, saya merasa yakin bahwa misterilah yang ingin dikedepankan, namun toh kemudian saya dapatkan bahwa cerita kematian di sini tidak lebih penting dari kisah cinta Rina dan Diar. Pada bagian ini, logika yang dibangun agak tersendat-sendat. Jika memang ada usaha pencarian Rina yang tiba-tiba hilang, seharusnya sudah ada pula usaha mencari Rina di danau yang jelas-jelas sebelumnya pernah menelan korban. Dugaan-dugaan macam inilah yang tidak diperhitungkan oleh penulis. Tepat ketika penulis ingin membangun aura misteri pada cerpen ini, saat itu pula penulis meluluhkannya sendiri dengan romantisme kekasih yang hilang. Sedang kisah fantasi, dalam hal ini adanya peri-peri di permukaan danau, yang menjadi penyebab tiga korban tercebur di danau seolah-olah ditulis hanya sebagai penguat keindahan visual imagery dalam cerpen ini. Padahal, tanpa peri pun bisa terbangun sebuah alasan penyebab kematian.

Sebagai sebuah cerita, cerpen “Danau Kematian” bisa dibilang mendekati lengkap. Diksi dan tata bahasa Indonesia penulis bagus. Usaha penulis untuk membuat sebuah cerita menjadi lebih menarik dengan sedikit bermain pada alur dan POV terlihat jelas. Hal ini menunjukan penulis telah selangkah lebih maju dalam proses pembelajarannya. Namun satu hal yang perlu dipoles benar adalah logika cerita. Satu contoh sederhana; tokoh Irin dikatakan sebagai gadis SMA, namun membaca keseluruhan cerpen ini, bagi pembaca (dalam hal ini saya) Irin adalah seorang anak kecil berusia tak lebih dari sepuluh tahun. Ia sedang nakal-nakalnya, maka itu ia tetap naik perahu sendirian meski sudah dilarang. Juga segala sikap kekanak-kanakannya, yang manja dan keras kepala. Perilaku macam ini kurang logis untuk seorang gadis usia SMA.

Sangat wajar jika dalam tulisan-tulisan awal, keinginan menampilkan sebuah karya yang indah sangat kuat. Sayangnya definisi ‘indah’ di sini kadang masih sempit, sehingga kebanyakan penulis (terutama yang baru belajar) terbuai dengan keindahan bahasa. Cerpen “Danau Kematian” mengakhiri ceritanya dengan sedikit anti-klimaks. Penulis masih haus untuk bermain-main dengan diksi yang flamboyan. Jika saya diijinkan mengedit, maka akan saya akhiri tepat pada kalimat; “Perlahan kusadari, aku tak perlu tiupan angin untuk membawakan suara-suaraku padanya.” Titik. Dan membuang sisanya. Seorang penulis harus mulai belajar percaya pada kekuatan cerita itu sendiri, dan berani memotong kalimat yang bersifat boros dan artifisial.

Danau Kematian

“Apakah ia akan bernasib sama seperti aku dulu? Tersihir oleh peri-peri kecil yang ada di permukaan danau dan terhanyut pula oleh tangan-tangan ganggang hijau yang gemulai ini?”(Cerpen “Danau Kematian”)

Peri-peri, yang digambarkan sebesar bunga pohon putri malu dan berterbangan lincah dengan sayap yang keemasan, adalah yang dikatakan sebagai penyebab kematian Rina, tokoh utama cerpen “Danau Kematian”. Peri ini juga yang kemudian membuat tokoh Irin, tergoda dan akhirnya tercebur ke danau.

“Danau Kematian” bercerita tentang Rina, kekasih Diar, yang tewas tepat pada hari ulangtahun Diar. Rina menghilang, dan kemudian diketahui ternyata telah tercebur di danau karena tertegun melihat bayangan peri di permukaan danau pada pagi hari. Ia tenggelam dan mayatnya tak ditemukan hingga lebih dari dua bulan. Cerpen ini bertutur lewat point of view (POV) Rina.

Sedari awal, penulis ingin menyuguhkan cerita yang sedih sekaligus indah. Di kalimat pembuka, tokoh Rina memanggil-manggil nama kekasihnya. Meski begitu, Diar, sang kekasih, tak juga kunjung datang. Lalu diikuti kesedihan berikutnya; berita hilangnya Rina. Selanjutnya, ditemukan mayat Rina di dalam danau. Di sela-sela itu, dikisahkan kematian neneknya Diar yang juga tenggelam di danau bertahun-tahun lalu. Juga Irin, adik Diar, yang tercebur di danau yang sama dan untungnya bisa diselamatkan.

Cerpen ini sedikit banyak mengingatkan saya akan novel Raumanen karya Marianne Katoppo, terutama karena dua karya tersebut sama-sama dituturkan lewat POV tokoh yang sudah mati dan kisah cinta yang melatari. Selain itu, kedua karya juga ada usaha untuk sengaja menyembunyikan kondisi tokoh utama yang sebenarnya. Sepertinya ingin memberi kejutan kepada pembaca bahwa POV dituturkan oleh orang yang telah mati. Mengenai hal ini, Raumanen jauh lebih berhasil, namun “Danau Kematian” sebaliknya. Ketika tiba pada paragraf empat cerpen “Danau Kematian”, pembaca sudah bisa menebak tokoh utama telah meninggal dunia. Lebih dari itu, sejujurnya, pembaca juga sudah bisa menebak kira-kira nasib naas macam apa yang telah menimpa tokoh utama. Semua petunjuk di paragraf-paragraf awal sudah dibuka oleh penulis. Meski pada tiga paragraf awal penulis berhasil membangun keindahan, namun pada saat yang sama penulis juga menghancurkan klimaksnya sendiri yang seharunya berada di sepertiga akhir paragraf.

Hal yang membuat saya meraba-raba cerpen ini adalah; ketidakyakinan saya, cerpen ini sebetulnya oleh penulis ingin diarahkan ke mana; kisah cinta, misteri, atau fantasi. Kisah cinta Diar dan Rina jelas menjadi latar dari cerpen ini. Rasa kehilangan kedua tokoh yang amat sangat, menegaskan bahwa kisah cinta di sini berperan penting. Namun begitu pula misteri, sebab hilangnya Rina yang tiba-tiba, juga judul yang sengaja dipilih; “Danau Kematian”. Awalnya, saya merasa yakin bahwa misterilah yang ingin dikedepankan, namun toh kemudian saya dapatkan bahwa cerita kematian di sini tidak lebih penting dari kisah cinta Rina dan Diar. Pada bagian ini, logika yang dibangun agak tersendat-sendat. Jika memang ada usaha pencarian Rina yang tiba-tiba hilang, seharusnya sudah ada pula usaha mencari Rina di danau yang jelas-jelas sebelumnya pernah menelan korban. Dugaan-dugaan macam inilah yang tidak diperhitungkan oleh penulis. Tepat ketika penulis ingin membangun aura misteri pada cerpen ini, saat itu pula penulis meluluhkannya sendiri dengan romantisme kekasih yang hilang. Sedang kisah fantasi, dalam hal ini adanya peri-peri di permukaan danau, yang menjadi penyebab tiga korban tercebur di danau seolah-olah ditulis hanya sebagai penguat keindahan visual imagery dalam cerpen ini. Padahal, tanpa peri pun bisa terbangun sebuah alasan penyebab kematian.

Sebagai sebuah cerita, cerpen “Danau Kematian” bisa dibilang mendekati lengkap. Diksi dan tata bahasa Indonesia penulis bagus. Usaha penulis untuk membuat sebuah cerita menjadi lebih menarik dengan sedikit bermain pada alur dan POV terlihat jelas. Hal ini menunjukan penulis telah selangkah lebih maju dalam proses pembelajarannya. Namun satu hal yang perlu dipoles benar adalah logika cerita. Satu contoh sederhana; tokoh Irin dikatakan sebagai gadis SMA, namun membaca keseluruhan cerpen ini, bagi pembaca (dalam hal ini saya) Irin adalah seorang anak kecil berusia tak lebih dari sepuluh tahun. Ia sedang nakal-nakalnya, maka itu ia tetap naik perahu sendirian meski sudah dilarang. Juga segala sikap kekanak-kanakannya, yang manja dan keras kepala. Perilaku macam ini kurang logis untuk seorang gadis usia SMA.


Sangat wajar jika dalam tulisan-tulisan awal, keinginan menampilkan sebuah karya yang indah sangat kuat. Sayangnya definisi ‘indah’ di sini kadang masih sempit, sehingga kebanyakan penulis (terutama yang baru belajar) terbuai dengan keindahan bahasa. Cerpen “Danau Kematian” mengakhiri ceritanya dengan sedikit anti-klimaks. Penulis masih haus untuk bermain-main dengan diksi yang flamboyan. Jika saya diijinkan mengedit, maka akan saya akhiri tepat pada kalimat; “Perlahan kusadari, aku tak perlu tiupan angin untuk membawakan suara-suaraku padanya.” Titik. Dan membuang sisanya. Seorang penulis harus mulai belajar percaya pada kekuatan cerita itu sendiri, dan berani memotong kalimat yang bersifat boros dan artifisial.

Text